Perpustakaan
Soeman H.S Lokasinya berada di Jalan Jenderal Sudirman 462, Pekanbaru. Uniknya,
bangunan perpustakaan ini berbentuk seperti rehal atau papan alas untuk membaca
Al Quran. Perpustakaan Soeman H.S terdiridari enam lantai dan memiliki berbagai
fasilitas pendukung mulai dari mushola, kafe, kantin, ruang pertemuan sampai
auditorium. Ada juga ruangan khusus untuk literatur budaya Melayu. Perpustakaan
ini disebut memiliki koleksi literatur budaya Melayu terlengkap di Indonesia.
Perpustakaan ini tak hanya untuk orang dewasa. Silakan bawa anak-anak ke tempat
wisata edukasi ini. Di sini, ada Children Library dan Kids Corner yang sangat
memanjakan anak-anak. Tak perlu memiliki kartu keanggotaan untuk bisa membaca
koleksi buku di sini. Anda bebas membaca buku di sofa atau lesehan, ruang baca
sangat nyaman karena dilengkapi dengan AC dan akses internet gratis.
Marquee
Kamis, 09 Maret 2017
Wisata Riau Istana Siak Sri Indrapura
Istana Siak Sri Indrapura
Istana
Siak Sri Indrapura merupakan sebuah istana peninggalan Kesultanan Siak yang
merupakan kerajaan terbesar di Riau. Lokasinya Istana Siak Sri Indrapura berada
tak jauh dari Pusat Kota Pekanbaru. Istana Siak Sri Indrapura ini menjadi salah
satu Tempat Wisata di Pekanbaru paling menarik untuk dikunjungi. Wisata Edukasi
layaknya Museum ini menyajikan aneka jenis benda peninggalan kerajaan dari
peralatan, perhiasan, hingga patung perunggu Ratu Wilhelmina dan Patung Sultan
Syarif Hasyim I yang terbuat dari Batu Pualam dan Perhiasan berlian. Di lantai
dasar anda dapat menikmati koleksi kerajaan seperti patung perunggu Ratu
Wihelmina dan patung Sultan Syahrir Hasyim I. Di lantai ini juga terdapat
Gendang tua yang memiliki usia 200 tahun lebih. Sedangkan Lantai dua Istana
dulunya merupakan kamar sultan dan kamar tamu, kamar-kamar tersebut sekarang
dirubah menjadi tempat koleksi senjata pusaka sultan. Terdapat juga lukisan
Napoleon Bonaparte yang didatangkan asli langsung dari Perancis.
Air Terjun Batu Dinding menjadi salah satu objek wisata terfavorit di Riau
Air
Terjun Batu Dinding adalah salah satu destinasi tempat wisata yang ada di
kawasan Kampar Kiri, Provinsi Riau, Indonesia. Air Terjun ini memiliki nama
yang sedikit unik dan pantas menjadi tujuan wisata anda ketika anda berkunjung
ke Pekanbaru, Riau. Tempat Wisata Air Terjun Batu Dinding yang terdapat di
Kampar Kiri ini memiliki keindahan, keunikan serta keistimewaan tersendiri
karena disekitar area objek wisata air terjun batu dinding ini terdapat
beberapa objek dan tempat wisata lain seperti Tempat Wisata Tugu Equator (Tugu
Khatulistiwa) dan Tempat Wisata Bersejarah Istana Kerajaan Gunung Sahilan.
tempat wisata ini masih terbilang perawan dan belum diekplorasi oleh pemerintah
setempat sehingga di kawasan wisata air terjun batu dinding belum ada fasilitas
penginapan maupun rumah makan.
Sungai Kampat Salah Satu Tempat Wisata di Riau
Objek Wisata Sungai Kampar lokasinya berada di Desa Teluk Meranti, sebelah timur laut Pekanbaru Berselancar ternyata tidak hanya di pantai saja, di sungai juga bisa kok. Nah, untuk kamu yang hobi berselancar kamu harus cobain sensai berselancar di sungai Kampar.. Gelombang pasang surut (ombak) dikenal secara lokal sebagai “Bono”, yang bergegas dengan suara menderu keras pada kecepatan 40 kilometer per jam. Surfing di sungai bisa naik setinggi 4 sampai 6 meter. Sungai dan tepi diberitakan dihuni oleh buaya dan ular. Sementara buaya sebagian besar ditemukan di hulu, adalah bijaksana untuk berhati-hati dari predator ini ketika berselancar di sungai. Namun, ular kebanyakan tidak beracun, seperti boa dan Piton.
Datuk Tabano dikenal memegang kekuasaan ketika negeri sedang carut marut. Dengan memiliki ilmu kebal diri, Datuk Tabano mampu mempertahankan Limo Koto dari serbuan Belanda yang datang dari hulu. Sementara pusat pertahanan terletak ditepi sungai Kampar di wilayah batu dinding rantau berangin. Sedangkan pelocuan tonggak di daerah pulau Ompek Kuok.
Istrinya bernama Halimah Siyam dikarunia dua anak masing masing bernama Abdullah dan Habibah kesetian Halimah.
Pertengahan tahun 1895, terjadi perang antara pasukan Belanda dengan pasukan rakyat Limo Koto. Saat pasukan Belanda memasuki kandang perairan, perahu kompeni tenggelam setelah dihajar pasukan Tabano.*
Tengku Sulung
| Tengku Sulung | |
|---|---|
| Lahir | Lingga, Kepulauan Riau, Indonesia |
Sejak Kecil, Sulung dididik dengan ajaran Islam yang ketat. Pemahamannya tentang Agama Islam membuatnya tidak suka dengan Belanda. Bahkan Dia tidak mau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Pada masa ramaja, Tengku Sulung pernah pergi ke Kalimantan dan dilatih mengarungi laut. Bahkan di Kruang Kalimantan, dia pernah tertembak sehingga mengenai bagian mukannya yang membekas sampai masa tuanya. Tengku Sulung bersama seorang sahabatnya, Encik Montel menjadi pemimpin bajak laut yang tersohor dan menetap di Kalimantan. Setelah tertangkap dan kemudian diberikan pengampunan oleh Komisaris Du Bus De Giusignies Tengku Sulung diperkenankan tinggal di sepanjang Sungai Reteh dengan syarat yang diajukan bahwa ia harus melepaskan pekerjaan membajak. Hal ini memang ditaatinya sungguh-sungguh.
Tengku Sulung memperoleh kedudukan sebagai Panglima Besar Reteh setelah Sultan Muhammad, Sultan Lingga yang berkuasa di Reteh. Waktu itu Sulung tidak mau tunduk pada Sultan Sulaiman yang diangkat oleh Belanda untuk kawasan yang sama, menggantikan Sultan Mahammad. Semula Tengku berkedudukan di Kotabaru Hulu Pulau Kijang sekitar 16 mil dari Pulau Kijang. Di Desa ini Tengku Sulung membangun Benteng yang kelak ditandai dengan adanya Desa Benteng, Sungai Batang, Indragiri Hilir di Hulu Sungai Batang. Benteng ini dibangun di kawasan seluas 2 hektare. Sekitar 3 Km dari benteng ini terdapat rumah Tengku Sulung berupa benteng kecil yang ditumbuhi pohon dedap. Dibenteng itulah pertahanan Tengku Sulung dan pasukannya dalam melawan Belanda yang datang dari pusat keresidenan di Tanjung Pinang. Tengku Sulung sangat didukung oleh pasukannya baik yang berdiam di Hilir maupun di Hulu Kotabaru.
Akibat tindakannya yang sering mengganggu pelayaran Belanda di sekitar perairan Kepulauan Riau membuat pihak Belanda menjadi marah dan pada tanggal 13 Oktober 1858, pasukan Tengku Sulung dikepung oleh Belanda dari berbagai jurusan. Namun Tengku Sulung masih mendapat bantuan dari orang-orang Melayu asli Reteh, Enok dan Mandah. Bahkan Pasukan dari Indragiri secara menyamar membantu perjuangan Tengku Sulung.
Perjuangan Tengku Sulung dan Pasukannya terhenti setelah Belanda membawa Haji Muhammad Thaha, juru tulis Tengku Sulung yang sebelumnya tertangkap oleh Belanda di Kotabaru. Waktu itu, Tengku Sulung di ultimatum oleh Residen Belanda supaya menyerah kepada Komandan Ekspedisi. Namun Tengku Sulung masih memberikan perlawanan, karena kekuatan Tengku Sulung yang tidak berimbang dibanding Pasukan Belanda, akibatnya penyerangan Belanda pada tanggal 7 November 1858 banyak menewaskan rakyat Reteh dan Tengku Sulung sendiri juga ikut tertembak di bagian leher oleh pasukan Belanda pada saat sedang memeriksa tembok benteng.
Kisah Perjuangan Tuanku Tambusai, Harimau Paderi dari Rokan
TUANKU Tambusai adalah salah seorang pejuang tangguh dalam sejarah negeri ini. Berikut kisah perjuangan Pahlawan Nasional ini.
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784. Dalu-dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi Sungai Sosah, anak Sungai Rokan.
Nama kecilnya, Muhammad Saleh. Dia anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali, ada juga yang menulis Imam Maulana Kadhi, dan Munah.
Ayahnya berasal dari Nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai, ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat.
Ibunya berasal dari Nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.
Sewaktu kecil, Muhammad Saleh diajarkan ilmu bela diri, ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Semua itu diajarkan ayahnya.
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Di sana, dia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi (Padri).
Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Ajaran itu dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelebegu.
Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823.
Menurut pemerhati sejarah dari STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan, Christine Dobbin dalam "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847" menyebut bahwa pemuda Tambusai yang berumur 15 tahun dan banyak belajar dari ulama Paderi itu ikut angkat senjata melawan tentara kompeni sampai ke wilayah Natal pada tahun 1823.
Setahun setelahnya, Tuanku Tambusai didaulat sebagai pemimpin pasukan di Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, dan Mandailing.
Dalam usia yang belia itu, menurut Mahidin Said dalam "Tuanku Tambusai Berjuang", Tuanku Tambusai dan pasukannya berhasil mengancurkan benteng Belanda Fort Amerongen. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda direbut kembali.
Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga melawan pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda.
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, Nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784. Dalu-dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi Sungai Sosah, anak Sungai Rokan.
Nama kecilnya, Muhammad Saleh. Dia anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali, ada juga yang menulis Imam Maulana Kadhi, dan Munah.
Ayahnya berasal dari Nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai, ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat.
Ibunya berasal dari Nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.
Sewaktu kecil, Muhammad Saleh diajarkan ilmu bela diri, ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Semua itu diajarkan ayahnya.
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Di sana, dia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi (Padri).
Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya. Ajaran itu dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelebegu.
Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823.
Menurut pemerhati sejarah dari STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan, Christine Dobbin dalam "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784-1847" menyebut bahwa pemuda Tambusai yang berumur 15 tahun dan banyak belajar dari ulama Paderi itu ikut angkat senjata melawan tentara kompeni sampai ke wilayah Natal pada tahun 1823.
Setahun setelahnya, Tuanku Tambusai didaulat sebagai pemimpin pasukan di Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, dan Mandailing.
Dalam usia yang belia itu, menurut Mahidin Said dalam "Tuanku Tambusai Berjuang", Tuanku Tambusai dan pasukannya berhasil mengancurkan benteng Belanda Fort Amerongen. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda direbut kembali.
Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga melawan pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda.
Langganan:
Komentar (Atom)





